PROFESI
HUKUM
A.
Pengertian Profesi Hukum
Profesi
berbeda dengan pekerjaan pada umumnya. Diantara para sarjana belum ada kata
sepakat mengenai batasan sebuah profesi. Hal ini terutama disebabkan oleh belum
adanya suatui standar (yang telah disepakati) umum mengenai pekerjaan atau
tugas yang bagaimanakah yang dikatakan dengan profesi tersebut. Sebuah profesi
terdiri dari sekelompok terbatas orang-orang yang memiliki keahlian khusus dan
dengan keahlian itu mereka dapat melakukan fungsinya di dalam masyarakat dengan
lebih baik dibandingkan dengan warga masyarakat lain pada umumnya. Sebuah
profesi adalah sebutan atau jabatan dimana orang yang menyandangnya memiliki
pengetahuan khusus yang diperolehnya melalui latihan atau training atau
sejumlah pengalaman lain atau mungkin diperoleh sekaligus kedua-duanya.
Penyandang profesi dapat membimbing atau memberi nasihat dan saran atau juga
melayani orang lain dalam bidang-nya sendiri.
Terdapat
pula rumusan lain mengenai profesi hukum diantaranya menurut Aubert (1973)
menurutnya profesi adalah pekerjaan pelayanan yang menerapkan seperangkat
pengetahuan sistematika (ilmu) pada masalah-masalah yang sangat relevan bagi
nilai-nilai utama dari masyarakat. Sedangkan menurut E. Sumarsono (1999)
menjelaskan bahwa profesi adalah sebuah jabatan atau sebutan dimana orang yang
menyandangnya mempunyai pengetahuan khusus yang diperolehnya melalui training
atau pengalaman lain, atau bahkan diperoleh melalui keduanya sehingga
penyandang profesi dapat membimbing atau memberi nasihat/saran atau juga
melayani orang lain dalam bidangnya sendiri dengan lebih baik bila dibandingkan
dengan warga masyarakat lain pada umumnya. Kemudian menurut Franz Magnis-Suseno
(1991) profesi dapat dibedakan atas profesi umum dan profesi yang luhur.
Profesi umum adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk
menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian yang khusus.
Persyaratan adanya keahlian yang khusus inilah yang membedakan antara
pengertian dan pekerjaan, walaupun memang sukar mencari garis pemisah yang
tajam antara keduanya. Profesi yang luhur adalah profesi yang pada hakikatnya
merupakan suatu pelayanan pada manusia atau masyarakat, meskipun mereka ini
memperoleh nafkah, namun nafkah bukan tujuan utama.
Sedangkan
dalam kamus bahasa Indonesia “profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi
pendidikan keahlian (keterampilan, kejujuran, dan sebagainya) tertentu”.
B. Jenis
Subyek Hukum
Dalam
dunia hukum, perkataan orang berarti pembawa hak yaitu sesuatu yang mempunyai
hak dan kewajiban dan sibebut subyek hukum. Dalam dewasa ini subyek hukum itu
terdiri dari:
1.
manusia (natuurlijke persoon)
2. badan
hukum (rechtspersoon)
Sekarang
bisa dikatakan tiap manusia baik warga Negara ataupun orang asing dengan tidak
memandang agama atau kebudayaannya adalah subyek hukum. Sebagai pembawa hak,
manusia mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban untuk untuk melakukan sesuatu
tindakan hukum, ia dapat mengadakan persetujuan-persetujuan, menikah, membawa
wasiat, dan sebagainya.
Berlakunya
manusia itu sebagai pembawa hak mulai dari saat ia dilahirkan dan berakhir pada
saat ia meninggal dunia, malah seorang anak yang masih ada dalam kandungan
ibunya dapat dianggap sebagai pembawa hak (dianggap telah lahir) jika
kepentingannya memerlukan (untuk menjadi ahli waris)
Walaupun
menurut hukum setiap orang tidak terkecuali dapat memiliki hak-hak akan tetapi
di dalam hukum tidak semua orang tidak diperbolehkan bertindak sendiri didalam
melaksanakan hak-haknya itu.
Ada
fenomena menarik yang patut dicatat dalam perkembangan dunia hukum di Indonesia
belakangan ini. Bangkitnya kembali organisasi-organisasi keprofesian hukum,
serta sorotan atau tekanan masyarakat terhadap peran lembaga peradilan,
fenomena tersebut hanya merupakan beberapa tanda saja dari telah adanya proses
perubahan cara pandang masyarakat terhadap institusi hukum. Dia belumlah
menjelaskan proses perubahan itu sendiri, dan pada akhirnya belumlah berarti
apa-apa untuk dapat merumuskan sebuah konsep ideal bagi etika profesi hukum.
Guru besar kriminologi dari Universitas Indonesia, Tubagus Ronny Rahman
Nitibaskara, misalnya, berpendapat bahwa hukum telah mengalami degradasi nilai,
sehingga fungsi hukum tidak lain dari alat kejahatan, atau dalam bahasa beliau
‘law as a tool of crime’ (Semu, Kepastian Hukum di Indonesia, Kompas, 26
November 2005).
Tapi apa
yang bisa kita dapatkan dari informasi tersebut selain sekedar sebuah
peringatan siaga belaka? Haruskah, kemudian, kita hapuskan saja institusi
hukum, karena keberadaan dirinya telah membatalkan fungsinya sendiri
(contradictio in terminis)? Akankah terjawab bagaimana semestinya konsep ideal
bagi etika profesi hukum? Untuk mencegah pemikiran yang hanya akan membawa kita
pada sikap apatis dan pesimis dalam menghadapi kekusutan arah dan tujuan sistem
hukum kita, maka perlu ada usaha untuk menguraikan permasalahan tersebut lebih
lanjut lagi. Ini memang bukan hal yang mudah, namun bukan sesuatu yang tidak
mungkin.
Proses
perubahan masyarakat yang terjadi saat ini, dan mungkin juga di masa yang akan
datang, tidak bisa dipisahkan dari adanya proses globalisasi, proses lintas
batas. Pengaruh MTV di Belanda terhadap gaya hidup anak mudanya, misalnya,
tidak beda dengan pengaruh MTV di Indonesia terhadap gaya hidup anak muda
setempat. Memang, karakter lokal bukannya tidak memegang peran penting. Justru
kondisi masyarakat setempatlah yang nantinya akan menentukan konsep yang paling
ideal bagi masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu pula, modernisasi mesti
dimengerti sebagai sebuah proses. Sebagai sebuah proses, dengan sendirinya
modernisasi bukanlah suatu bentuk atau tatanan yang tetap. Dengan begitu, cara
terbaik untuk dapat memahami modernisasi adalah dengan memahami proses itu
sendiri, dan bukan sekedar akibatnya (masyarakat ‘modern’). Membatasi modernisasi
hanya pada sebuah bentuk masyarakat ‘modern’ hanya akan membawa pengingkaran
pada proses tersebut. Karena, dalam sebuah proses pada prinsipnya semua dapat
berubah, kecuali perubahan itu sendiri.
Modernisasi
pada satu masyarakat, dapat saja berbeda dengan modernisasi pada masyarakat
yang lain. Pada akhirnya kondisi masyarakat bersangkutan sendirilah yang akan
menentukan.Gambaran modernisasi dari sudut pandang sosiologis yang cukup
terkenal disampaikan oleh filosof Jerman Max Weber (1864-1920). Menurutnya,
modernisasi adalah sebuah proses sekularisasi, rasionalisasi dan
‘desakralisasi’ (demystification). Analisa Weber sendiri adalah analisa
menyeluruh pada semua aspek sosial, sedang hukum hanya satu bagian saja dari
sebuah sistem sosial.
Sebuah
tindakan sosial, menurut Weber, tidak bisa dipisahkan dari proses berpikir
rasional dan tujuan yang akan dicapai oleh pelaku. Tindakan sosial dapat
dipisahkan menjadi empat macam tindakan menurut motifnya:
(1)
tindakan untuk mencapai satu tujuan tertentu,
(2) tindakan
berdasar atas adanya satu nilai tertentu,
(3)
tindakan emosional, serta
(4)
tindakan yang didasarkan pada adat kebiasaan (tradisi).
Pada
awal abad 20 atau pasca revolusi industri di Eropa Barat, Weber melihat bahwa
tindakan untuk mencapai satu tujuan tertentulah yang mengemuka. Apa artinya
bagi jati diri hukum? Artinya, hukum ‘klasik’ yang dibangun berdasar atas
adanya asas-asas dan doktrin-doktrin hukum yang terkandung di dalam
undang-undang akan berubah menuju hukum ‘modern’ yang dibangun dari adanya
tarik ulur kepentingan-kepentingan atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai setiap
elemen masyarakat. Telah terjadi pergeseran pondasi dari suatu nilai yang tak
terbantahkan, menuju pondasi yang lebih supel dan fleksibel. Pondasi yang dapat
selalu ditawar dan dirundingkan berdasar atas kebutuhan atau kepentingan dari
(elemen) masyarakat pada suatu ruang dan waktu tertentu. Masing-masing elemen
masyarakat berusaha meraih kepentingannya, sedang hukum adalah alat untuk
mencapainya. Asas-asas serta doktrin-doktrin hukum, baru diterima jika memang
itu rasional dan sistematik. Akibatnya, keberadaan institusi hukum yang tadinya
dibangun atas dasar kewibawaan yang sakral mesti mampu pula melandaskan
kepercayaan masyarakat yang diembannya pada suatu dasar yang rasional.
Pendeknya, institusi hukum atau profesi hukum tidak lagi dapat bertahan pada
landasan sakralnya dan mau tak mau telah menjadi bagian dari dinamika
masyarakat itu sendiri.
Modernisasi
yang digambarkan oleh Max Weber di atas tadi, telah terjadi di dalam masyarakat
Eropa Barat sejak awal abad 20 sebagai reaksi atas terjadinya revolusi industri
yang memang meletakkan titik berat pada efisiensi sebagai usaha optimalisasi
produksi. Lalu, mengapa modernisasi ala Weber tadi berusaha dihubungkan dengan
kondisi Indonesia pasca reformasi yang notabene terjadi satu abad sesudah
analisa itu sendiri dikemukakan? Mest dimaklumi, bahwa usia demokrasi di
Indonesia masihlah muda. Proses rasionalisasi telah tersumbat puluhan tahun
lamanya, meski mungkin metode berpikir rasional bukanlah hal baru bagi
masyarakat Indonesia. Keberadaan institusi hukum diIndonesia, dengan segala
carut marutnya, telah ‘tersembunyi’ dengan rapi di balik wibawa rezim-rezim
yang sebelumnya pernah berkuasa di Indonesia. Institusi hukum di masa Orde
Baru, misalnya, sudah memiliki satu cetak biru yang jelas. Keberpihakan hukum
adalah pada penguasa. Artinya, wibawa hukum dijamin dengan wibawa kekuasaan.
Hukum adalah sebuah institusi yang pada dasarnya tidak terjamah oleh proses
rasionalisasi dan ‘desakralisasi’. Dengan adanya proses demokratisasi yang
terjadi pasca reformasi, sedikit banyak telah terjadi perubahan cara pandang
terhadap institusi hukum tersebut.
Seperti
telah dikemukakan diatas , modernisasi ini telah mengundang kegerahan seorang
guru besar kriminologi yang menyebut fenomena perkembangan hukum di Indonesia
sebagai ‘law as a tool of crime’. Hukum yang berfungsi sebagai alat kejahatan.
Beliau bahkan berpendapat: “Proses hukum menjadi ajang beradu teknik dan
keterampilan. Siapa yang lebih pandai menggunakan hukum akan keluar sebagai
pemenang dalam berperkara. Bahkan, advokat dapat membangun konstruksi hukum
yang dituangkan dalam kontrak sedemikian canggihnya sehingga kliennya meraih
kemenangan tanpa melalui pengadilan.” Pertanyaannya adalah: apakah tindakan itu
salah? Salahkah bagi seorang advokat sebagai seorang profesi hukum menggunakan
pengetahuan hukumnya sebagai alat untuk memenangkan kliennya? Sayangnya
ilustrasi yang beliau berikan tentang permasalahan di dalam hukum kontrak
tersebut tidaklah konkrit, sehingga dengan informasi tersebut tidaklah cukup
untuk menimbang benar tidaknya tindakan si advokat yang dimaksud. Namun begitu,
memang mesti diakui bahwa bukan tidak mungkin dengan kondisi hukum yang telah
‘memasyarakat’ ini, pendekatan-pendekatan pragmatis yang mungkin bertentangan
dengan asas-asas dan doktrin-doktrin hukum akan digunakan oleh advokat untuk
memenangkan kliennya. Bahkan, kalau kita jeli memperhatikan, cara pikir
pragmatis seperti ini terjadi juga di tingkatan pembuat kebijakan. Beberapa
waktu yang lalu, misalnya, terdengar usulan dari seorang anggota dewan untuk
memberlakukan pembedaan tarif pembuatan paspor untuk mencegah korupsi di
Imigrasi (DPR Usulkan Paspor Beda Tarif, detikcom, 18 Januari 2006).
C.
Konsep Etika Profesi
Ada dua
konsep etika profesi hukum yang saat ini cukup mendominasi dalam menghadapi
modernisasi atau proses pergeseran dari hukum ‘klasik’ menuju hukum ‘modern’
seperti telah dijelaskan di atas. dua konsep tersebut lahir dari ahli-ahli
teori hukum di Amerika. Meski begitu, bukan berarti dua konsep ini memiliki
pandangan yang sejalan. Justru sebaliknya. Masing-masing konsep dimaksud justru
telah memilih dua kutub berseberangan dalam menghadapi modernisasi.
Konsep
yang pertama adalah konsep yang diutarakan oleh Anthony Kronman dalam bukunya
The Lost Lawyer (1993). Kronman menggambarkan seorang profesional hukum yang
ideal sebagai seorang lawyer statesman. Profesional hukum tersebut harus
memiliki tiga elemen pokok berikut ini:
1.
kecakapan teknis yuridis,
2. sifat
yang terpuji,
3. serta
kebijaksanaan yang membumi (phronesis).
Dilihat
dari karakter-karakter tersebut, profesional hukum yang ideal di mata Kronman,
tak lain dari profesional hukum yang lahir di tengah budaya hukum ‘klasik’.
Memang itu yang dimaksudkan Kronman, yaitu nostalgia pada figure phronimos atau
‘sang bijak’ ala Aristoteles. Masalahnya, saat ini kita telah mulai menuju ke
arah pembentukan budaya hukum ‘modern’. Bukankah ini merupakan pengingkaran
dari proses perubahan masyarakat itu sendiri? Akibatnya apa? Seperti kritik
William Twining dalam Law In Context, Enlarging a Discipline (1997), konsep
tersebut akan membawa profesi hukum kembali pada paternalisme dan elitisme.
Bukankah akibat dari adanya modernisasi profesional hukum justru dituntut untuk
mampu membuktikan bahwa dirinya patut dipercaya? Di sisi lain, bukankah artinya
kepercayaan ini tidak bisa begitu saja diberikan, hanya karena dan oleh karena,
profesional hukum tersebut adalah ‘sang bijak’ itu tadi? Jika memang hakim
sudah pasti bijaksana, tentu tidak akan ada keraguan yang mempertanyakan
integritas para hakim agung seperti yang telah terjadi di Indonesia saat ini.
Bukankah hakim agung adalah seorang hakim yang merunut arti katanya adalah
‘sang bijak’ itu tadi?
Selanjutnya,
di kutub sebaliknya, Richard A. Posner justru menyambut proses pergeseran
budaya hukum ‘klasik’ ke budaya hukum ‘modern’ ini dengan positif. Proses
perubahan tersebut bukanlah sebuah kemunduran budaya, namun justru dasar bagi
berkembangnya suatu budaya hukum baru. Menurut Posner, profesi hukum tak lain
dari sebuah kartel atau sindikat yang berusaha melindungi anggotanya dari
pengaruh eksternal, yaitu pengaruh pasar dan regulasi pemerintah, serta
pengaruh internal, yaitu persaingan antar sesama mereka. Seorang profesional
hukum yang ideal adalah seorang sociaal engineer. Dia harus lebih terorientasi
pada penelitian empiris, sebagaimana ilmuwan-ilmuwan pada umumnya, serta harus
lepas dari kemampuan yuridis ‘klasik’ yang menitikberatkan pada interpretasi
teks dan argumentasi praktis. Hukum di mata Posner adalah suatu bidang ilmu
yang otonom. Masalahnya, hal tersebut juga membawa konsekuensi bahwa hukum
harus memiliki satu landasan baru, karena dia akan lepas dari asas-asas serta
doktrin-doktrin moral yang menjadi penyangganya. Untuk hal ini, Posner kemudian
meletakkan ekonomi sebagai dasar baru bagi hukum. Baik tidaknya suatu tindakan,
akan dianalisa dengan prinsip ekonomi, dengan kata lain, nilai kebaikan hanya
diukur dengan pendekatan material. Pandangan tersebut tentu saja kontroversial,
mengingat dengan begitu Posner telah menegasikan muatan politik dan moral yang
terkandung di dalam hukum. Bukankah hukum juga merupakan sarana untuk
menjembatani proses perubahan dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain?
Hukum harus melek sejarah, dalam arti tidak bisa mengesampingkan interpretasi
teks dan sejarah lahirnya teks, serta tidak akan hanya bisa didasarkan pada
instrumen-instrumen rasionalitas belaka. Kritik tersebut di antaranya datang
dari ahli-ahli teori hukum Belanda, A.M. Hol dan M.A. Loth, dalam sebuah
artikel mereka yang berjudul Iudex mediator; naar een herwardering van de
juridische professie (2001). Pendeknya, menurut Hol dan Loth konsep Posner ini
miskin nilai-nilai moral dan hanya akan membawa kita pada pragmatisme.
Setelah
melihat dua konsep ideal tersebut, tentu kita berpikir bahwa modernisasi telah
membawa kita pada satu kondisi yang dilematis. Ibarat makan buah simalakama,
apabila kita ikuti konsep nostalgia Kronman, telah terbukti bahwa ‘sang bijak’
belum tentu bijak, sedang apabila kita ikuti konsep teknokrasi Posner kita akan
jatuh ke dalam pragmatisme yang bukan tidak mungkin membuat hukum rimba kembali
berlaku (mungkin bukan lagi berupa kekuatan okol atau kekuasaan, namun berupa
kekuatan kapital). Tentu ini bukan pilihan mudah. Untungnya, di samping
mengkritik, Hol dan Loth juga memberikan konsep jalan tengah.
D.
Konsep Jalan Ketiga
Meminjam
pendapat Gus Dur dalam artikelnya berjudul Budaya Kita di Masa Peralihan (22
Juni 2004), dasar pemikiran yang cukup dikenal dalam tradisi Nahdlatul Ulama:
“Al-muhafazhatu ’ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah.”
(Tetap menggunakan hal-hal lama yang baik, dan hanya menggunakan hal-hal baru
yang lebih baik). Begitulah kurang lebih gambaran dasar berpikir konsep jalan
ke tiga yang ditawarkan oleh Hol dan Loth. Pergeseran dari hukum ‘klasik’ ke
hukum ‘modern’ memang telah terjadi, namun bukan berarti perubahan itu kita
tolak mentah-mentah atau justru kita ikuti dengan membuta. Hukum ‘klasik’,
bagaimanapun rentannya, telah meninggalkan asas-asas serta doktrin-doktrin
hukum yang akan menyangga berdirinya institusi hukum. Meski begitu, berdirinya
institusi tersebut tidak lagi hanya bisa didasarkan pada kharisma atau wibawa
profesional hukumnya saja. Lebih dari itu, institusi tersebut harus merupakan
sebuah instrumen keadilan yang memang dapat menjadi cerminan dari nilai
keadilan yang hidup di masyarakat. Namun, bukankah modernisasi telah membawa
kita pada situasi di mana setiap elemen di dalam masyarakat memiliki standar
keadilan sendiri-sendiri, sesuai dengan kepentingan dan keinginan mereka
masing-masing.
Untuk
itu Hol dan Loth meminjam konsep keadilan prosedural ala John Rawls dalam A
Theory of Justice(1973) sebagai sebuah alternatif dalam menghadapi era perubahan
ini. Keadilan prosedural tersebut meletakkan titik berat pada proses lahirnya
keadilan, bukan pada keadilan yang dihasilkan. Ini tentu saja logis, mengingat
perubahan masyarakat tentu akan membawa perubahan pada cara pandang masyarakat
terhadap suatu masalah. Kemudian analisa Hol dan Loth yang menempatkan prosedur
peradilan sebagai sebuah sistem. Artinya, seorang profesional hukum mesti
dinilai dari peran yang disandangnya dalam sebuah proses peradilan.
Profesionalisme di mata advokat, jaksa, atau hakim tentu saja berbeda.
Perbedaan ini bukan (hanya) karena mereka memiliki pandangan yang berbeda akan
sebuah permasalahan hukum, namun karena mereka harus menempati posisi-posisi
yang memang berbeda dalam sebuah proses peradilan. Kita tentu tidak bisa berharap
bahwa seorang advokat harus menjadi hakim, sebagaimana juga sebaliknya, seorang
hakim haruslah menempatkan dirinya sebagai seorang hakim, seorang penengah.
Artinya, adagium ‘audi et alteram partem’ (dengar juga dari sisi sebaliknya)
mesti berlaku tanpa kecuali.
Rawls
mendasarkan konsep keadilan proseduralnya pada teori kontrak sosial. Artinya,
proses peradilan itu akan dirasa perlu oleh seluruh elemen masyarakat, karena
hanya dengan begitu kepentingan yang mereka miliki (akan) dapat terlindungi.
Seluruh elemen masyarakat akan merasa berkepentingan pada adanya sebuah jaminan
prosedur keadilan, karena, kalau tidak, yang terjadi adalah hukum rimba.
Negaralah yang pada akhirnya memastikan bahwa proses tersebut mesti terjamin
dengan baik. Kepentingan lembaga negara sendiri, tentu saja ada pada
terciptanya keamanan dan stabilitas politik nasional. Pendeknya, seorang
profesional hukum yang ideal di mata Hol dan Loth adalah seorang iudex
mediator. Dia harus dapat menjadi penghubung antara dua pihak yang bertikai.
Selanjutnya, dia juga harus dapat menjadi jembatan antara pihak-pihak tersebut
dengan masyarakat, serta dapat menimbang beragam kepentingan, norma, dan nilai
yang ada di dalam masyarakat. Begitulah seorang profesional hukum yang ideal
menurut Hol dan Loth. Tidak kurang, tidak lebih.
Setelah
kita menengok gambaran konsep-konsep etika profesi yang dijelaskan di atas,
pertanyaan selanjutnya adalah: bagaimana dengan kondisi di Indonesia, proses
pergeseran dari hukum ‘klasik’ ke hukum ‘modern’, dilihat dari gejalanya,
sedikit banyak telah mulai terjadi di Indonesia. Sementara pihak bersikap
apatis, bahkan pesimis, dalam melihat perkembangan hukum di Indonesia. Sedang
sebagian lain justru mendukung perkembangan hukum ‘modern’ tersebut, dalam hal
ini menggunakan prinsip ekonomi dalam melihat masalah hukum yang tentu
merupakan sebuah bentuk pragmatisme (sang anggota dewan). Untuk menghadapi
kondisi di Indonesia dapat kita jelaskan di bawah ini:
Pertama,
mesti dipahami dan harus terus dipahami, bahwa profesionalisme telah mulai
dibentuk dari lembaga pendidikan hukum. Untuk itu, lembaga-lembaga pendidikan
sudah semestinya turut andil pada proses pembentukan profesionalisme ini.
Semestinya, sejak jenjang S1 sudah ada satu cetak biru yang jelas tentang
profil tiap-tiap mahasiswa.
Kedua,
lembaga pendidikan juga dituntut harus mampu mentransformasikan pengajaran
nilai-nilai keadilan dalam konteks masyarakat terkini.
Ketiga,
‘ontran-ontran’ yang terjadi pada lembaga peradilan di Indonesia setidaknya
bisa ditangkap sebagai sebuah pertanda positif. Dengan tetap proporsional tentu
saja. Paling tidak, telah ada kesepakatan untuk melakukan perubahan di tubuh
lembaga peradilan. Ke arah mana, itu pertanyaannya.
Ada tiga
adagia klasik yang menjadi pondasi hukum, paling tidak bisa menjadi dasar-dasar
pemikiran untuk merumuskan kode etik profesi hukum. Ketiga adagia klasik
tersebut adalah sebagai berikut:
1. ius
est ars boni et aequi (hukum adalah kecakapan (menerapkan) nilai kebaikan dan
kepatutan),
2. male
enim nostro iure uti non debemus(janganlah kita salah gunakan hukum kita),
3.
…neque malitiis indulgendum est (janganlah kita menyerah pada keburukan).
Bagaimana seorang profesional hukum pada akhirnya akan memaknai adagia
tersebut, kita serahkan saja pada individu itu sendiri.
Bukankah
rasa tanggungjawab (responsibility) memang dimulai dari diri sendiri.
E.
Subyek Hukum Profesi Hukum
Hingga
saat ini beberapa subyek hukum yang diperlengkapi dengan etika profesi hukum
meliputi :
1. hakim
2.
penasihat hukum (Advokat, Pengacara)
3. notaries
4. jaksa
5.
polisi
F. Ciri
Khas Profesi
1. suatu
bidang yang terorganisasi dari materi intelektual yang terus menerus berkembang
dan diperluas.
2. suatu
teknik intelektual
3.
penerapan praktis dari teknik intelektual pada urusan praktis.
4. suatu
periode panjang untuk pelatihan dan sertifikasi.
5.
beberapa standar dan pernyataan tentang etika profesi yang dapat
diselenggarakan.
6.
kemampuan memberi kepemimpinan pada profesi sendiri
7.
asosiasi anggota profesi yang akrab dengan komunikasi yang erat antar anggota.
8.
pengakuan sebagai profesi.
9.
perhatian yang professional dalam pekerjaan profesi dan adanya rasa
bertanggungjawab.
10.
hubungan yang erat dengan profesi lain.
SUMBER
DATA:
Wiranata,
I gede “Dasar-dasar etika dan moralitas” hal: 243
Kamus
besar bahasa indonesia
Kansil
C.S.T, & Kansil Christine.2003 “pokok-pokok etika profesi hukum” hal 31
Kompas,
26 November 2005
http///:Hukum
online, google search
detikcom,
18 Januari 2006
Kansil
C.S.T, & Kansil Christine.2003 “pokok-pokok etika profesi hukum” hal 32
0 komentar:
Posting Komentar